Cappuccino
& Hujan
By:
Anas Tasya Sekartaji
***
Aku
berlari kecil menuju halte pemberhentian bus terdekat dari sekolah. Bel pulang
sekolah sudah dibunyikan sejak sejam yang lalu. Namun aku masih berada di
koridor sekolah gara-gara hujan yang nampaknya enggan berhenti sedari tadi. Dan
akhirnya aku memutuskan untuk menunggu dihalte saja, siapa tahu dapet tebengan,
pikirku.
Setelah
aku menerobos hujan yang lumayan deras, aku sampai di halte. Aku melihat
seorang pemuda yang nampaknya seumuran denganku & juga sedang terjebak
hujan. Dia masih mengenakan seragam, entah seragam tingkatan apa yang ia
kenakan karena tertutup oleh jaketnya. Namun jika dilihat dari celananya,
nampaknya ia masih seumuran denganku.
Aku
duduk agak jauh darinya. Saat itu, halte sangat sepi sehingga hanya kami berdua
yang berada dihalte. Aku meliriknya dari ekor mataku, hey! Dia mendekat padaku.
Jujur, aku sering gugup jika berada di dekat pria. Itulah sebabnya aku masih
‘menjomblo’ sampai sekarang.
“Hey” sapa pria
tadi kepadaku. Dia semakin mendekat ke arah posisiku duduk sekarang
“Hai juga” aku
menyapanya balik sambil memamerkan senyum gugupku.
“Baru pulang?”
“Sudah sejak
sejam yang lalu”
Pembicaraan
kami hanya sampai sejauh itu. Setelahnya, kami tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Tak ada satupun dari kami yang membuka suara. Hanya ada hening
diantara kami.
Udaranya
sangat dingin. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk
menghangatkan tubuh. Keheningan masih berpihak pada kami. Akhirnya, pria tadi
pun angkat bicara.
“Mau cappuccino?”
Hey! Dia
menawariku segelas cappuccino yang lezat itu.
“Tapi, itukan
punyamu?”
“Tak apa.
Tadinya aku membeli 2 gelas karena takutnya aku ingin nambah lagi. Ini untukmu”
ujarnya. Lalu memberikan segelas cappuccino padaku.
“Terimakasih”
Aku
menyeruput cappuccino yang diberikan pria tadi. Cukup untuk menghangatkan tubuh
mungilku. Namun, tubuhku tetap menggigil dengan hebatnya. Aku kaget. Ada
sesuatu yang mendarat di bahuku. Aku menoleh kepada pria tadi. Menatapnya
dengan tatapan heran.
“Pakai jaketku.
Kau nampak menggigil” ujarnya tenang tanpa menoleh sedikitpun kearahku. Tetap
dengan cappuccinonya yang lezat itu.
“Tapi,
aku merasa tak enak denganmu. Kau juga kedinginan”
“Pakailah, aku
tak apa”
Akhirnya, akupun
memakai jaket yang diberkan pria tadi. Udara sangat dingin hingga menusuk ke
relungku.
“Thanks
ya”
Dia
tidak menjawab. Dan ketika aku menoleh kearahnya, aku kaget. Dia pingsan!
Wajahnya nampak sangat pucat. Bibirnyapun
mulai membiru. Aku panik! Aku harus bagaimana? Untung saja tak lama
kemudian ada sebuah taxi yang lewat ditengah hujan lebat. Aku menyetopnya dan
akhirnya memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
***
Aku menunggu di luar ruangan sambil
mondar-mandir berkali-kali sejak tadi. Aku cemas dengan keadaan pria an tak ku
kenal itu. Tak lama kemudian, seorang dokterpun keluar dari ruangan tersebut
ditemani dengan seorang suster disampingnya. Akupun menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana
keadaannya dok?,,,” tanyak sedikit panik
“Dia pacarmu??”
“Bukan. Aku tak
mengenalnya. Kami bertemu di halte”
“Kondisi
fisiknya melemah. Mungkin karena terkena hujan dan udara yang sangat dingin.
Selebihnya, dia baik-baik saja.”
“Oh syukurlah.
Terimakasih dok”
“Sama-sama”
Sang
dokter pun melengang pergi meninggalkanku. Aku memasuki ruangan. Nampak pria
tadi sudah sadar namun masih terbaring lemah di ranjang dan infus masih
menempel dipunggung tangannya.
“Terimakasih
sudah menolongku” ujarnya sambil tersenyum
“Sama-sama. Kau
sudah mendingan?”
“Sudah kok.
Mungkin sebentar lagi aku dibolehkan pulang”
“Syukurlah.
Ohya, namaku Audy. Kau?”
“Rain. Cukup
panggil Ray’
“Nama yang unik”
***
“Kau tahu
mengapa aku suka cappuccino?”
Kami
sedang berada di taman & berbaring di atas rumput hijau yang sangat nyaman.
Kami memandangi langit. Aku menahan kepalaku dengan tanganyang kulipat supaya
rambutku tidak kotor. Ohya, sejak kejadian itu aku menjadi sangat dekat
dengannya. Bahkan kami memiliki hubungan yang spesial. Entah kenapa aku bisa
merasa nyaman berada didekatnya. Mungkin ini yang dinamakan ‘The Power Of Love’
“Kenapa? Apa
alasanmu sangat menyukai cappuccino?” ujarku
“Cappuccino
mengingatkanku akan masa lalu. Asa dimana semuanya terasa di surga. Aih, aku
tak akan lupa masa itu”
“Masa lalu
bersama mantan pacarmu?”
“Haha bukan.
Dulu, ibuku sangat suka dengan cappuccino. Dia juga pandai membuat cappuccino
yang lezat. Sampai akhirnya dia berpulang ke rumah Tuhan” mimik wajahnya
berubah menjadi muram.
“Oh maaf. Aku
tak bermaksud-”
“Tak apa. Aku
sudah mengikhlaskan beliau kok. Dia masih bersamaku disini. Bersama cappuccino”
ujarnya lalu tersenyum.
***
Rintik-rintik
hujan jatuh membasahi bumi. Aku segera bangkit untuk menepi ke tempat yang
teduh. Aku menarik tangan Ray agar menepi, namun Ray enggan bangkit. Dia tetap
berbaring.
“Jangan pergi.
Temani aku disini untuk main hujan. Aku mohon” ujarnya menahan tanganku
“Tidak Ray.
Nanti penyakitmu kambuh lagi. Dan aku tak ingin itu terjadi”
“Audy, ayolah.
Aku sangat ingin menikmati detik-detik terakhirku bersamamu. Aku mohon” ujarnya
memelas dan menampakkan mimik wajah iba. Dia terlihat sangat imut jika seperti
itu.
“Detik-detik
terakhir?” aku menggumam pelan, namun masih bisa didengar oleh Ray.
“Iya. Dokter
mem-vonis hidupku tak lama lagi, Audy. Penyakitku ini sudah stadium akhir &
tak mungkin sembuh. Aku sudah lelah. Jadi, biarkan aku menikmati sisa umurku,
oke?”
Ray berkata
demikian. Tak terasa buliran bening mulai meleleh di pipi tirusku bersamaan
dengan rintik-rintik air yang jatuh membasahi bumi. Langitpun ikut menangis
bersamaku.
“Tidak Ray,
jangan pergi! Kau akan tetap berada disini! Bersamaku!” jeritku dalam hati. Aku
hanya tertunduk diam. Menyembunyikan mataku yang mulai memerah dari pandangan
Ray. Jangan ambil dia Tuhan, batinku.
“Hey! Mengapa
melamun? Ayo kita menikmati hujan!”
Ray
menarikku ke tengah-tengah hujan. Dia merentangkan kedua tangannya lalu
memejamkan mata. Tak pernah aku melihat Ray se-bahagia ini. Aku larut dalam
kebahagiaan Ray bermain hujan. Kami berlarian seperti kucing & tikus. Ingat
ya! Ray tikusnya, aku kucingnya. Haha!
Sesekali aku
melirik Ray melalui ekor mataku. Wajahnya terlihat teduh sekali. Matanya yang
sayu terlihat memancarkan binar-binar. Aku melihatnya! Jelas sekali. Dan
tiba-tiba..
“Hayooo! Lagi
ngeliatin aku ya? Aku tau aku ganteng. Ngeliatinnya biasa aja dong” ujarnya
tampak menggodaku
“Apasih?
Enggak!” aku mengelak. Tengsin!
“Udahlah ngaku
aja, keleuss..” dia tersenyum evil & mencolek dagu ku. Kemudian tertawa
terbahak-bahak
“Ray nyebelin!”
Aku berpura-pura
ngambek gara-gara ulahnya barusan. Dia masih tampak tertawa. Gigi gingsulnya
mencuat keluuar diiringi suara tawanya yang seolah tak ingin berhenti. Dan
sekali lagi, dia terlihat sangat inut jika seperti itu.
“Cie ngambek cie..
haha” dia masih menggodaku. Menyebalkan!
“Huh! Nyebelin!”
Aku
mengerucutkan bibirku. Kemudian berbalik membelakangi Ray sambil melipat kedua
tanganku didepandada. Dia benar-benar menyebalkan!
Tak
lama kemudian, aku tersentak. Sepasang tangan kokoh merangkulku dari belakang.
Dia mengeratkan pelukannya, lalu meletakkan kepalanya di bahuku. Ray menarik
nafas panjang lalu menghembuskannya. Ia nampak ingin menyampaikan sesuatu.
“Nanti kalau aku
beneran pergi, jangan pernah lupain aku ya?” aku bingung dengan perkataannya
barusan. Aku mengernyitkan dahi.
“Kamu ngomong
apa sih? Aku gak paham”
“Kalau aku
pergi, jangan pernah berubah ya? Tetep jadi ‘Cloudy Pelangi’ yang ceria dan gak
tahu malu. Tetep jadi Cloudy (awan) yang bisa neduhin semua orang dari panasnya
sinar matahari. Janji ya?”
“Kamu ngomongnya
ngaco ih! Emangnya aku power ranger apa pake berubah segala” ujarku setengah
bercanda.
Ray tertawa
pelan. Dia mengeratkan jemarinya dengan jemari tanganku. Aku nyaman berada
didekatnya.
“Aku sayang
kamu, Cloudy Pelangi”
Kami
terdiam cukup lama. Hanya terdengar suara rintikan hujan yang masih tersisa.
Hujan sudah reda sekarang. Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu..
Ray
telah pergi. Dia pergi. Dia hilang. Dia takkan kembali ke sisiku. Hanya
tertinggal raganya yang tak bernyawa disini. Orang yang amat sangat ku cintai
ini, menghembuskan nafasnya yang terakhir dipelukku. Aku termenung beberapa
saat. Logika dan nuraniku saling beradu satu sama lain. Logika ku berkata, Ray
memang sudah pergi untuk selamanya. Namun, nuraniku bersikukuh bahwa Ray masih
disini. Bersamaku!
Aku
menangis dalam diam. Mencoba merelakan apa yang baru saja terjadi pada Ray. Aku
sudah merasa agak tenang sekarang.
“Mungkin Tuhan
legih sayang sama kamu, Ray. Selamat jalan.. Raga kamu mungkin udah ga bisa aku
peluk esok hari. Tapi kamu yang sebenernya, masih ada disini. Di lubuk hati
yang paling dalam, rain Alvendra”
Nampak
sesosok bayangan putih samar-samar. Dia nampak tersenyum. Lalu perlahan,
bayangan itu lenyap dari pandangan seiring dengan munculnya pelangi. Selamat
jalan, Rain Alvendra-ku..
-Tamat-
Jangan lupa follow disini