Jumat, 26 September 2014



Cappuccino & Hujan
By: Anas Tasya Sekartaji

***
Aku berlari kecil menuju halte pemberhentian bus terdekat dari sekolah. Bel pulang sekolah sudah dibunyikan sejak sejam yang lalu. Namun aku masih berada di koridor sekolah gara-gara hujan yang nampaknya enggan berhenti sedari tadi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menunggu dihalte saja, siapa tahu dapet tebengan, pikirku.
Setelah aku menerobos hujan yang lumayan deras, aku sampai di halte. Aku melihat seorang pemuda yang nampaknya seumuran denganku & juga sedang terjebak hujan. Dia masih mengenakan seragam, entah seragam tingkatan apa yang ia kenakan karena tertutup oleh jaketnya. Namun jika dilihat dari celananya, nampaknya ia masih seumuran denganku.
Aku duduk agak jauh darinya. Saat itu, halte sangat sepi sehingga hanya kami berdua yang berada dihalte. Aku meliriknya dari ekor mataku, hey! Dia mendekat padaku. Jujur, aku sering gugup jika berada di dekat pria. Itulah sebabnya aku masih ‘menjomblo’ sampai sekarang.
“Hey” sapa pria tadi kepadaku. Dia semakin mendekat ke arah posisiku duduk sekarang
“Hai juga” aku menyapanya balik sambil memamerkan senyum gugupku.
“Baru pulang?”
“Sudah sejak sejam yang lalu”
Pembicaraan kami hanya sampai sejauh itu. Setelahnya, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada satupun dari kami yang membuka suara. Hanya ada hening diantara kami.
Udaranya sangat dingin. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk menghangatkan tubuh. Keheningan masih berpihak pada kami. Akhirnya, pria tadi pun angkat bicara.
“Mau cappuccino?”
Hey! Dia menawariku segelas cappuccino yang lezat itu.
“Tapi, itukan punyamu?”
“Tak apa. Tadinya aku membeli 2 gelas karena takutnya aku ingin nambah lagi. Ini untukmu” ujarnya. Lalu memberikan segelas cappuccino padaku.
“Terimakasih”
Aku menyeruput cappuccino yang diberikan pria tadi. Cukup untuk menghangatkan tubuh mungilku. Namun, tubuhku tetap menggigil dengan hebatnya. Aku kaget. Ada sesuatu yang mendarat di bahuku. Aku menoleh kepada pria tadi. Menatapnya dengan tatapan heran.
“Pakai jaketku. Kau nampak menggigil” ujarnya tenang tanpa menoleh sedikitpun kearahku. Tetap dengan cappuccinonya yang lezat itu.
“Tapi, aku merasa tak enak denganmu. Kau juga kedinginan”
“Pakailah, aku tak apa”
Akhirnya, akupun memakai jaket yang diberkan pria tadi. Udara sangat dingin hingga menusuk ke relungku.
“Thanks ya”
Dia tidak menjawab. Dan ketika aku menoleh kearahnya, aku kaget. Dia pingsan! Wajahnya nampak sangat pucat. Bibirnyapun  mulai membiru. Aku panik! Aku harus bagaimana? Untung saja tak lama kemudian ada sebuah taxi yang lewat ditengah hujan lebat. Aku menyetopnya dan akhirnya memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
***
            Aku menunggu di luar ruangan sambil mondar-mandir berkali-kali sejak tadi. Aku cemas dengan keadaan pria an tak ku kenal itu. Tak lama kemudian, seorang dokterpun keluar dari ruangan tersebut ditemani dengan seorang suster disampingnya. Akupun menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaannya dok?,,,” tanyak sedikit panik
“Dia pacarmu??”
“Bukan. Aku tak mengenalnya. Kami bertemu di halte”
“Kondisi fisiknya melemah. Mungkin karena terkena hujan dan udara yang sangat dingin. Selebihnya, dia baik-baik saja.”
“Oh syukurlah. Terimakasih dok”
“Sama-sama”
Sang dokter pun melengang pergi meninggalkanku. Aku memasuki ruangan. Nampak pria tadi sudah sadar namun masih terbaring lemah di ranjang dan infus masih menempel dipunggung tangannya.
“Terimakasih sudah menolongku” ujarnya sambil tersenyum
“Sama-sama. Kau sudah mendingan?”
“Sudah kok. Mungkin sebentar lagi aku dibolehkan pulang”
“Syukurlah. Ohya, namaku Audy. Kau?”
“Rain. Cukup panggil Ray’
“Nama yang unik”

***
“Kau tahu mengapa aku suka cappuccino?”
Kami sedang berada di taman & berbaring di atas rumput hijau yang sangat nyaman. Kami memandangi langit. Aku menahan kepalaku dengan tanganyang kulipat supaya rambutku tidak kotor. Ohya, sejak kejadian itu aku menjadi sangat dekat dengannya. Bahkan kami memiliki hubungan yang spesial. Entah kenapa aku bisa merasa nyaman berada didekatnya. Mungkin ini yang dinamakan ‘The Power Of Love’

“Kenapa? Apa alasanmu sangat menyukai cappuccino?” ujarku
“Cappuccino mengingatkanku akan masa lalu. Asa dimana semuanya terasa di surga. Aih, aku tak akan lupa masa itu”
“Masa lalu bersama mantan pacarmu?”
“Haha bukan. Dulu, ibuku sangat suka dengan cappuccino. Dia juga pandai membuat cappuccino yang lezat. Sampai akhirnya dia berpulang ke rumah Tuhan” mimik wajahnya berubah menjadi muram.
“Oh maaf. Aku tak bermaksud-”
“Tak apa. Aku sudah mengikhlaskan beliau kok. Dia masih bersamaku disini. Bersama cappuccino” ujarnya lalu tersenyum.

***
Rintik-rintik hujan jatuh membasahi bumi. Aku segera bangkit untuk menepi ke tempat yang teduh. Aku menarik tangan Ray agar menepi, namun Ray enggan bangkit. Dia tetap berbaring.
“Jangan pergi. Temani aku disini untuk main hujan. Aku mohon” ujarnya menahan tanganku
“Tidak Ray. Nanti penyakitmu kambuh lagi. Dan aku tak ingin itu terjadi”
“Audy, ayolah. Aku sangat ingin menikmati detik-detik terakhirku bersamamu. Aku mohon” ujarnya memelas dan menampakkan mimik wajah iba. Dia terlihat sangat imut jika seperti itu.
“Detik-detik terakhir?” aku menggumam pelan, namun masih bisa didengar oleh Ray.
“Iya. Dokter mem-vonis hidupku tak lama lagi, Audy. Penyakitku ini sudah stadium akhir & tak mungkin sembuh. Aku sudah lelah. Jadi, biarkan aku menikmati sisa umurku, oke?”
Ray berkata demikian. Tak terasa buliran bening mulai meleleh di pipi tirusku bersamaan dengan rintik-rintik air yang jatuh membasahi bumi. Langitpun ikut menangis bersamaku.
“Tidak Ray, jangan pergi! Kau akan tetap berada disini! Bersamaku!” jeritku dalam hati. Aku hanya tertunduk diam. Menyembunyikan mataku yang mulai memerah dari pandangan Ray. Jangan ambil dia Tuhan, batinku.
“Hey! Mengapa melamun? Ayo kita menikmati hujan!”
Ray menarikku ke tengah-tengah hujan. Dia merentangkan kedua tangannya lalu memejamkan mata. Tak pernah aku melihat Ray se-bahagia ini. Aku larut dalam kebahagiaan Ray bermain hujan. Kami berlarian seperti kucing & tikus. Ingat ya! Ray tikusnya, aku kucingnya. Haha!
Sesekali aku melirik Ray melalui ekor mataku. Wajahnya terlihat teduh sekali. Matanya yang sayu terlihat memancarkan binar-binar. Aku melihatnya! Jelas sekali. Dan tiba-tiba..
“Hayooo! Lagi ngeliatin aku ya? Aku tau aku ganteng. Ngeliatinnya biasa aja dong” ujarnya tampak menggodaku
“Apasih? Enggak!” aku mengelak. Tengsin!
“Udahlah ngaku aja, keleuss..” dia tersenyum evil & mencolek dagu ku. Kemudian tertawa terbahak-bahak
“Ray nyebelin!”
Aku berpura-pura ngambek gara-gara ulahnya barusan. Dia masih tampak tertawa. Gigi gingsulnya mencuat keluuar diiringi suara tawanya yang seolah tak ingin berhenti. Dan sekali lagi, dia terlihat sangat inut jika seperti itu.
“Cie ngambek cie.. haha” dia masih menggodaku. Menyebalkan!
“Huh! Nyebelin!”
Aku mengerucutkan bibirku. Kemudian berbalik membelakangi Ray sambil melipat kedua tanganku didepandada. Dia benar-benar menyebalkan!
Tak lama kemudian, aku tersentak. Sepasang tangan kokoh merangkulku dari belakang. Dia mengeratkan pelukannya, lalu meletakkan kepalanya di bahuku. Ray menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Ia nampak ingin menyampaikan sesuatu.
“Nanti kalau aku beneran pergi, jangan pernah lupain aku ya?” aku bingung dengan perkataannya barusan. Aku mengernyitkan dahi.
“Kamu ngomong apa sih? Aku gak paham”
“Kalau aku pergi, jangan pernah berubah ya? Tetep jadi ‘Cloudy Pelangi’ yang ceria dan gak tahu malu. Tetep jadi Cloudy (awan) yang bisa neduhin semua orang dari panasnya sinar matahari. Janji ya?”
“Kamu ngomongnya ngaco ih! Emangnya aku power ranger apa pake berubah segala” ujarku setengah bercanda.
Ray tertawa pelan. Dia mengeratkan jemarinya dengan jemari tanganku. Aku nyaman berada didekatnya.
“Aku sayang kamu, Cloudy Pelangi”

Kami terdiam cukup lama. Hanya terdengar suara rintikan hujan yang masih tersisa. Hujan sudah reda sekarang. Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu..
Ray telah pergi. Dia pergi. Dia hilang. Dia takkan kembali ke sisiku. Hanya tertinggal raganya yang tak bernyawa disini. Orang yang amat sangat ku cintai ini, menghembuskan nafasnya yang terakhir dipelukku. Aku termenung beberapa saat. Logika dan nuraniku saling beradu satu sama lain. Logika ku berkata, Ray memang sudah pergi untuk selamanya. Namun, nuraniku bersikukuh bahwa Ray masih disini. Bersamaku!
Aku menangis dalam diam. Mencoba merelakan apa yang baru saja terjadi pada Ray. Aku sudah merasa agak tenang sekarang.
“Mungkin Tuhan legih sayang sama kamu, Ray. Selamat jalan.. Raga kamu mungkin udah ga bisa aku peluk esok hari. Tapi kamu yang sebenernya, masih ada disini. Di lubuk hati yang paling dalam, rain Alvendra”
Nampak sesosok bayangan putih samar-samar. Dia nampak tersenyum. Lalu perlahan, bayangan itu lenyap dari pandangan seiring dengan munculnya pelangi. Selamat jalan, Rain Alvendra-ku..

-Tamat-



  Jangan lupa follow disini