Menulis Cerpen
Satu kejadian penting, ini adalah kunci
utama membuat cerpen. Fokus ketika membuat cerpen hanya diperlukan di
sekitar kejadian itu. Tahu seluruh sejarah hidup tokoh dan seisi kota
tempat cerita ditulis itu tidak mutlak diperlukan dalam menulis cerpen
(bahkan kadang nggak perlu sama sekali!). Benar, tak!?
Menulis
cerpen seperti sedang duduk di sebuah halte bus dan melihat sepasang
kekasih bertengkar. Hingga akhirnya bus datang dan cerita itu
selesailah. Di situ nggak perlu dijelaskan apa bus yang ditunggu, tapi
pusatkan cerita yang ditulis kepada pasangan tersebut. Siapa nama
pasangan tersebut? Mengapa mereka bertengkar? Pakaian apa yang mereka
pakai saat itu? Apa si pria menampar atau malah memeluk mesra? Bagaimana
ekspresi si perempuan ketika mengeluarkan semua uneg-unegnya kepada si
pria? Nangis, tak? Ketawa, tak? Apa saja omongan yang keluar dari mulut
mereka berdua? Dan dapat satu ide yang bisa kembangkan menjadi cerita
pendek: pasanganyang bertengkar karena keperselingkuhan (misalnya).
Setelah
mendapat ide, fokuslah kepada konflik. Di mana puncak konflik pasangan
tersebut? Apakah ternyata si perempuan ikut naik bus bersama penulis?
Puncak konflik ini bisa menjadi klimaks sebuah cerpen. Letaknya bisa di
awal, tengah, atau akhir cerita—suka-suka penulis aja. Puncak konflik
ini juga sering menjadi titik balik cerita—apa yang awalnya di kira
begini, eh ternyata begitu. Istilah kerennya adalah twist. Dan asiknya
dalamcerpen bisa bikin twist yang beda 180 derajat dengan klue awal yang
ditulis alias membuat sesuatu yang tiba-tiba (biasanya seperti di flash
fiction sih).
Puncak konflik ini mudah dikenali dalam
tulisan. Biasanya berupa kalimat pamungkas yang ada di tengah cerita
(selain di pembuka dan penutup cerita). Atau adegan yang kemudian
membuat si tokoh memikirkan hal yang berbeda dengan yang dia persepsikan
di awal cerita.
Biasanya, penulis menulis cerpen mulai dari menemukan puncak konflik, lalu baru kubuat benang merah ke awal dan akhir cerita.
-
Awal cerita: apa yang memotivasi si karakter bisa mengalami puncak
konflik tersebut?Dorongan dari dirinya atau dorongan dari orang lain?
-
Anti klimaks (adegan setelah puncak konflik): bagaimana reaksi si
karakter setelah mengalami/melewati puncak konflik tersebut?Sebenarnya
dua poin tersebut tergantung bagaimana format ceritanya ya. Nah, yang
ini tergantung dengan alur dan POV yang dipilih.
Alur
adalah aliran plot (adegan-adegan dalam cerita). Alur bisa mengalir maju
mundur, majuterus pantang mundur, mundur (flash back), atau gimana
kreatifnya penulis merangkai cerita. Nah, alur ini yang bakal
berpengaruh dengan format tulisan kamu, seperti letak puncak konflik.
PoV
(Point of view) atau sudut pandang cerita. Sudut pandang yang populer
adalah sudut pandang orang pertama tunggal (aku/saya), kami (jamak), dan
sudut pandangan orang ketiga tunggal (Dia atau nama si karakter). Ada
juga sudut pandang orang kedua (kamu/kau/engkau), tapi agak jarang
digunakan, biasanya sih yang udah mahir PoV 3 atau PoV 1, bakal coba PoV
2 ini.PoV ini menentukan sikap nanti sebagai penulis cerita. Sebagai
‘Aku’ berarti kamu memosisikan diri sebagai penulis dan tokoh sekaligus.
Sebagai 'dia’ berarti kamu bisa sebagai pengamat (narator) atau kamu
sebagai si yang tahu segalanya (sampai ke perasaan hati si tokoh juga).
‘Aku’ punya sudut pandang sebatas yang 'aku’ ini ketahui, mudahnya apa
yang ‘aku’ ini lihat. Sementara menggunakan ‘dia’ kamu bisa menceritakan
apapun.Jangan asal memilih sudut pandang, karena nggak semua sudut
pandang cocok dengan genre tertentu (sebenarnya ini tergantung kemampuan
penulis untuk meramu). Sudut pandang sebaiknya ada bahasan tersendiri,
ya.
Unsur lain dalam cerpen yang penting adalah karakter
dan setting. Karena konflik itu akan hampa tanpa ada karakter yang
mengalami.Setting atau latar sendiri bisa jadi sangat penting atau
sekedar pelengkap saja, itu tergantung dengan kebutuhan ceritamu. Dua
unsur ini perlu dipikirkan dengan baik. Latar seringkali menjadi bagian
yang harus membutuhkan sedikit riset agar cerita yang ditulis bisa
terasa lengkap.
Memadu-padankan unsur-unsur cerita
dilakukan menggunakan deskripsi-dialog. Idealnya sih, dalam cerpen kedua
bagian tersebut punya proporsi sama besar. Ketika menulis cerpen
kuncinya ya deskripsikan apa yang dibutuhkan dalam cerita dan tulis
dialog yang diperlukan saja.
Deskripsi yang kaya akan
membuatpembaca lebih bisa merasakan apa yang dirasakan si tokoh. Dialog
dan deskripsi yang kurang penting justru akan membuat pembaca
bosan.Pemilihan deskripsi atau dialog ini juga diperlukan ketika membuka
atau menutup cerpen. Seperti sebuah film, kadang ada film yang dibuka
langsung dengan karakter-karakter yang mengobrol atau dibuka dengan
serangkaian adegan yang menampilkan latar cerita.
Bagaimana memilih adegan pembuka dan penutup yang baik?
Nah,
ini memang jadi PR besar untuk semua penulis. Karena untuk bagian yang
satu ini nggak mudah dijelaskan dengan teori. Perlu sering latihan
menulis dan tentunya membaca untuk tahu seperti apa yang menarik untuk
kita.
Jangan terpaku pada: ‘akhir kisah yang bagus adalah
yang happy ending.’ Ending yang baik adalah ending yang sesuai dengan
cerita yang penulis buat (tidak memaksakan kehendak sendiri), makin
sering menulis akan luwes menentukan ending, atau malahkaraktermu
sendiri yang menentukan akhir ceritanya seperti apa—itu kalau sudah tiba
di tahap, saat kenal betul karakter tokoh dalam tulisan.
Ending
yang baik adalah ending yang memuaskan baik untuk penulis dan pembaca.
Bagaimana bentuk ending yang memuaskan itu? Jawaban ini hanya bisa
ditemukan sendiri dengan lagi-lagi banyak berlatih menulis dan
menyisihkan waktu untuk membaca.
Salam karya,
*sumber: disini