Jumat, 03 Oktober 2014

Bagaimana Menulis Cerpen?

Menulis Cerpen

Satu kejadian penting, ini adalah kunci utama membuat cerpen. Fokus ketika membuat cerpen hanya diperlukan di sekitar kejadian itu. Tahu seluruh sejarah hidup tokoh dan seisi kota tempat cerita ditulis itu tidak mutlak diperlukan dalam menulis cerpen (bahkan kadang nggak perlu sama sekali!). Benar, tak!?

Menulis cerpen seperti sedang duduk di sebuah halte bus dan melihat sepasang kekasih bertengkar. Hingga akhirnya bus datang dan cerita itu selesailah. Di situ nggak perlu dijelaskan apa bus yang ditunggu, tapi pusatkan cerita yang ditulis kepada pasangan tersebut. Siapa nama pasangan tersebut? Mengapa mereka bertengkar? Pakaian apa yang mereka pakai saat itu? Apa si pria menampar atau malah memeluk mesra? Bagaimana ekspresi si perempuan ketika mengeluarkan semua uneg-unegnya kepada si pria? Nangis, tak? Ketawa, tak? Apa saja omongan yang keluar dari mulut mereka berdua? Dan dapat satu ide yang bisa kembangkan menjadi cerita pendek: pasanganyang bertengkar karena keperselingkuhan (misalnya).

Setelah mendapat ide, fokuslah kepada konflik. Di mana puncak konflik pasangan tersebut? Apakah ternyata si perempuan ikut naik bus bersama penulis? Puncak konflik ini bisa menjadi klimaks sebuah cerpen. Letaknya bisa di awal, tengah, atau akhir cerita—suka-suka penulis aja. Puncak konflik ini juga sering menjadi titik balik cerita—apa yang awalnya di kira begini, eh ternyata begitu. Istilah kerennya adalah twist. Dan asiknya dalamcerpen bisa bikin twist yang beda 180 derajat dengan klue awal yang ditulis alias membuat sesuatu yang tiba-tiba (biasanya seperti di flash fiction sih).

Puncak konflik ini mudah dikenali dalam tulisan. Biasanya berupa kalimat pamungkas yang ada di tengah cerita (selain di pembuka dan penutup cerita). Atau adegan yang kemudian membuat si tokoh memikirkan hal yang berbeda dengan yang dia persepsikan di awal cerita.

Biasanya, penulis menulis cerpen mulai dari menemukan puncak konflik, lalu baru kubuat benang merah ke awal dan akhir cerita.

- Awal cerita: apa yang memotivasi si karakter bisa mengalami puncak konflik tersebut?Dorongan dari dirinya atau dorongan dari orang lain?

- Anti klimaks (adegan setelah puncak konflik): bagaimana reaksi si karakter setelah mengalami/melewati puncak konflik tersebut?Sebenarnya dua poin tersebut tergantung bagaimana format ceritanya ya. Nah, yang ini tergantung dengan alur dan POV yang dipilih.

Alur adalah aliran plot (adegan-adegan dalam cerita). Alur bisa mengalir maju mundur, majuterus pantang mundur, mundur (flash back), atau gimana kreatifnya penulis merangkai cerita. Nah, alur ini yang bakal berpengaruh dengan format tulisan kamu, seperti letak puncak konflik.

PoV (Point of view) atau sudut pandang cerita. Sudut pandang yang populer adalah sudut pandang orang pertama tunggal (aku/saya), kami (jamak), dan sudut pandangan orang ketiga tunggal (Dia atau nama si karakter). Ada juga sudut pandang orang kedua (kamu/kau/engkau), tapi agak jarang digunakan, biasanya sih yang udah mahir PoV 3 atau PoV 1, bakal coba PoV 2 ini.PoV ini menentukan sikap nanti sebagai penulis cerita. Sebagai ‘Aku’ berarti kamu memosisikan diri sebagai penulis dan tokoh sekaligus. Sebagai 'dia’ berarti kamu bisa sebagai pengamat (narator) atau kamu sebagai si yang tahu segalanya (sampai ke perasaan hati si tokoh juga). ‘Aku’ punya sudut pandang sebatas yang 'aku’ ini ketahui, mudahnya apa yang ‘aku’ ini lihat. Sementara menggunakan ‘dia’ kamu bisa menceritakan apapun.Jangan asal memilih sudut pandang, karena nggak semua sudut pandang cocok dengan genre tertentu (sebenarnya ini tergantung kemampuan penulis untuk meramu). Sudut pandang sebaiknya ada bahasan tersendiri, ya. 

Unsur lain dalam cerpen yang penting adalah karakter dan setting. Karena konflik itu akan hampa tanpa ada karakter yang mengalami.Setting atau latar sendiri bisa jadi sangat penting atau sekedar pelengkap saja, itu tergantung dengan kebutuhan ceritamu. Dua unsur ini perlu dipikirkan dengan baik. Latar seringkali menjadi bagian yang harus membutuhkan sedikit riset agar cerita yang ditulis bisa terasa lengkap.

Memadu-padankan unsur-unsur cerita dilakukan menggunakan deskripsi-dialog. Idealnya sih, dalam cerpen kedua bagian tersebut punya proporsi sama besar. Ketika menulis cerpen kuncinya ya deskripsikan apa yang dibutuhkan dalam cerita dan tulis dialog yang diperlukan saja.

Deskripsi yang kaya akan membuatpembaca lebih bisa merasakan apa yang dirasakan si tokoh. Dialog dan deskripsi yang kurang penting justru akan membuat pembaca bosan.Pemilihan deskripsi atau dialog ini juga diperlukan ketika membuka atau menutup cerpen. Seperti sebuah film, kadang ada film yang dibuka langsung dengan karakter-karakter yang mengobrol atau dibuka dengan serangkaian adegan yang menampilkan latar cerita.

Bagaimana memilih adegan pembuka dan penutup yang baik?

Nah, ini memang jadi PR besar untuk semua penulis. Karena untuk bagian yang satu ini nggak mudah dijelaskan dengan teori. Perlu sering latihan menulis dan tentunya membaca untuk tahu seperti apa yang menarik untuk kita.

Jangan terpaku pada: ‘akhir kisah yang bagus adalah yang happy ending.’ Ending yang baik adalah ending yang sesuai dengan cerita yang penulis buat (tidak memaksakan kehendak sendiri), makin sering menulis akan luwes menentukan ending, atau malahkaraktermu sendiri yang menentukan akhir ceritanya seperti apa—itu kalau sudah tiba di tahap, saat kenal betul karakter tokoh dalam tulisan. 

Ending yang baik adalah ending yang memuaskan baik untuk penulis dan pembaca. Bagaimana bentuk ending yang memuaskan itu? Jawaban ini hanya bisa ditemukan sendiri dengan lagi-lagi banyak berlatih menulis dan menyisihkan waktu untuk membaca.

Salam karya,

*sumber: disini