Senin, 25 Mei 2015

The Broken Journey - Part 4


Lanjutan cerita dari Mega Fradina (@fradinaclo) di blog sweetwinterclo.blogspot.com


Aku Takut

Gelap dan dingin sekali di hutan ini. Tidak tahu kapan kami akan ditemukan. Apakah ada orang yang mencari kami? Aku rindu rumah dan segala kehangatan yang ada di sana. Aku rindu Ayah dan Ibu, bahkan juga Molly, kucing peliharaanku. Apakah ia tak lupa diberi makan? Tetapi, yang paling penting sekarang adalah mencemaskan keadaan kami yang tersesat dan kondisi Kak Mila.

     
     Kakakku tengah tertidur pulas di dalam tenda. Wajahnya juga terlihat letih. Aku tahu, dia paling tidak suka merepotkan orang lain. Namun itu terkadang membuatnya jadi keras kepala dan justru makin menyulitkan keadaan.

     Aku juga prihatin melihat Kak Hanif. Wajahnya muram, memikirkan kami yang sampai hari ini masih tersesat. Kantong matanya menghitam akibat kurang tidur. Sudah dua hari berlalu, kami berharap ada pertolongan.

     Kak Rama sedang mengutak-atik ponselnya. Semua ponsel kami tidak berguna karena tak ada sinyal sama sekali. Punya Kak Mila bahkan habis baterenya. Kuhampiri Kak Hanif yang duduk di depan tendanya, sedang memperhatikan peta. Katanya, kompasnya terjatuh entah di mana. Ia menoleh, agak terkejut melihatku datang. 

     "Sekar, ada apa? Gimana kakakmu? Sudah baikan?" Ia bergeser, memberiku tempat untuk duduk.

     "Kakinya tambah bengkak, Kak. Kayaknya makin parah, deh," jawabku sedih. "Semoga besok kita sudah bisa turun gunung, ya Kak."

     "Iya, semoga." Kak Hanif mengangguk. "Pasti akan ada yang mencari kita." Ia pasti tidak mau aku putus asa. Tetapi nada suaranya terdengar seperti orang yang pasrah. Mungkin karena ia sudah amat letih selama dua hari ini.

     "Kak, makan dulu biskuitnya." Aku menunjuk kepingan biskuit di atas piring plastik di depannya. Setahuku, Kak Hanif belum makan sama sekali sejak tadi siang. Biskuit yang dibagikan Kak Mega belum disentuh sama sekali. 

     Ia menggeleng. "Buat kamu aja, Kar. Kakak nggak lapar."

     “Nggak boleh gitu. Kakak harus makan supaya punya tenaga,” ujarku. Kugeser piring plastik itu ke arahnya.

     Kak Hanif tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah. Tapi nanti, ya."

     “Oke. Kalau gitu, Sekar tinggal dulu ya. Sekar mau ngobrol sama Kak Mega."

     Kutinggalkan Kak Hanif sendirian. Lalu, kuhampiri Kak Mega yang sedang duduk di dekat api unggun yang dibuat Kak Rama. Ia sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya supaya terasa hangat.

     “Hai, Dek,” sapanya.

     Aku duduk di samping Kak Mega. "Aku khawatir sama Kak Mila, Kak. Kakinya semakin bengkak gara-gara dipaksakan berjalan tadi siang," keluhku.
 

     “Nggak usah cemas. Kak Mila pasti kuat. Sebentar lagi kita pulang, kok,” hiburnya sambil menepuk-nepuk pundakku. Semua orang sepertinya berusaha menenangkan aku. Mungkin, karena aku paling muda. Aku masih kelas tiga SMP, sedangkan mereka semua yang sudah kuliah.

     "Tadi Kak Rama mau pergi cari pertolongan, kan?" tanyaku.

     Air muka Kak Mega mendadak berubah ketika kusebut nama Kak Rama. Aku tidak tahu ada apa di antara mereka. Seringkali kupergoki mereka diam-diam saling memperhatikan. 

     Tiba-tiba, kudengar gemerisik semak di belakang Kak Hanif. Kulihat sepasang mata kuning menyala di antara semak belukar itu. Kak Rama dan Kak Hanif secepat kilat bangkit. Mereka menyambar kayu dari api unggun dan mulai berteriak-teriak.
 

     Kak Mega berlari, masuk ke dalam tenda untuk membangunkan Kak Mila. Sementara Kak Rama dan Kak Hanif mencoba mengusir hewan apa pun itu yang menggeram dalam kegelapan, dengan obor yang mereka pegang.

     “Macan! Itu macan!” Aku mendengar teriakan Kak Hanif. “Terus takut-takuti dengan api!”

     Di tengah teriakan panik mereka, aku berlari ke dalam hutan.

     Semuanya gelap. Aku berada jauh di dalam hutan. Duduk meringkuk kedinginan, di bawah sebatang pohon besar. Terhalang semak-semak. Berharap pertolongan segera datang. Dinginnya angin malam makin menusuk tulang.

     Ibu, aku takut…


...........


Ditulis untuk lomba Menulis Berantai Love Cycle GagasMedia
Simak kelanjutan ceritanya oleh Ramayoga (@ramadepp) di blog www.klikrama.com