***
Cindai P.O.V
“Ndai, kita putus.”
JLEB.
Duniaku seakan runtuh. Rio pasti
bercanda, kan? Semudah itu ia mengatakan kata putus? Dua tahun bersama itu bukan waktu yang sebentar. Hanya ini
yang kudapatkan setelah 6 bulan ‘digantung’
oleh Rio? Hanya ini? Ingin rasanya aku tertawa sekeras-kerasnya! Ini pasti
lelucon, kan? HAHA!
“Maaf, Ndai. Tapi aku udah punya tunangan. Aku dijodohin. Maaf.” Rio
menatapku dengan tatapan yang amat pilu. Merasa bersalah, takut melukai, dan iba
ia tunjukkan lewat manik matanya yang indah itu. Ah, andai aku masih memiliki
banyak waktu untuk menatap mata sendunya itu.
“Aku minta maaf.kamu tahu kan, aku
paling nggak bisa ngelawan kehendak orang tuaku? Maafin aku, Ndai,” ujar Rio.
Ia makin mengeratkan genggamannya di jemariku. Terasa hangat dan nyaman. Mataku
mulai berkaca-kaca. Cukup Rio, cukup.
“Aku tahu kok, Yo. Di mata orang tua kamu aku itu cuma gadis bau kencur, kan? Mereka menganggapku
hanya gadis SMA yang belum dewasa.” Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Remuk
Yo, remuk!
“Maafin
aku, Ndai. Aku harus pergi sekarang.”
“Boleh
aku minta pelukan kamu yang terakhir?
Aku mohon,” ujarku mengiba. Berat rasanya ditinggalkan olehnya.
Rio
memelukku erat. Sangat erat. Aku meletakkan kepalaku di dadanya yang hangat.
Meresapi bau strawberry di bajunya. Aku suka aroma itu.
“Jangan
nangis lagi, ok? Aku sayang kamu. Aku pergi.” Rio meregangkan pelukkannya lalu
bangkit dari bangku taman. Lantas pergi meninggalkanku begitu saja. Fiuh.
***
Author P.O.V
Cindai terlihat kembali ceria pagi ini. Seolah-olah
tak ada kejadian berat yang menimpanya kemarin. Dia berangkat ke sekolah dengan
ceria. Tas elmo merahnya itu selalu melekat di punggung gadis itu. Dengan
semerbak bau strawberry, membuat penampilan Cindai makin ceria. Namun, untuk
pertawa kalinya, gadis itu tak menyemprotkan parfum strawberry ke tas elmonya
tersebut. Ia lebih memilih menyemprotkan parfum lavender di tasnya. Untuk
menghilangkan kenangan tentang Rio, mungkin.
“Bagas belum dateng, jadi gue punya
banyak kesempatan,” ujar Cindai. Ia mengendap-endap menuju loker Bagas. Lalu
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah balon. Cindai lalu meniup balon
itu sampai seukuran kepala manusia. Eh,
tunggu. Itu buat apa?
Cindai
menaruh balon itu ke loker Bagas. Ia tahu, Bagas tak suka
dengan balon. Sekali-kali bikin Bagas
shock nggak pa-pa kali ya, batin Cindai senang.
Tak lama kemudian, Bagas datang.
Cindai bersembunyi agak jauh dari loker Bagas. Ia tak sabar dengan reaksi Bagas
selanjutnya.
“HHHUUAAA!! BALON!! AAAAAA!!!” Bagas
berteriak heboh ketika mengetahui di lokernya ada balon. Kontan saja ia
langsung menjadi pusat perhatian. Semua orang yang ada di koridor menatapnya
dengan tatapan iuh-ada-orang-aneh-teriak-teriak-sendiri.
“HAHAHAHAHAHA.” Cindai tertawa
terbahak-bahak melihat muka Bagas yang mirip kepiting rebus; memerah. Cindai
tertawa sampai terbatuk-batuk.
“Ah, cemen lo, Gas. Masa sama balon
aja takut!” ejek Cindai berpuas hati di sela sesi tertawanya itu.
“Mau lo apaan, sih? Orang gila!”
“Ini
balesan gue tempo hari pas lo ngelempar sepatu gue ke genteng!”
“Gue
nggak akan ngelakuin itu kalau lo nggak naruh seragam olahraga gue di toilet
cewek!”
“Lo
ngasih bubuk cabe ke jus mangga gue!”
“Dan lo
ngumpetin buku PR gue di kantor kepala sekolah!”
“Lo
bikin seragam gue jadi warna-warni gara-gara spidol sialan lo itu!”
“CUKUP!
ADA RIBUT-RIBUT APA INI?!”
Pak
Jona-sang guru killer- langsung menghentikan adu mulut tersebut. Entah sudah
keberapa kalinya ia menegur dua bocah itu: Bagas dan Cindai, si biang onar. Lalu
Pak Jona menjewer telinga keduanya sampai memerah.
“Ikut Bapak ke ruangan. SEKARANG!”
Dan mereka berduapun pergi ke
ruangan Pak Jona. Sesampainya disana,
mereka dihukum hormat kepad bendera sampai jam pelajaran selesai.
“Gara-gara lo, sih!” ujar Cindai menyalahkan Bagas.
“Enak
aja! Semuanya gara-gara elo, tau!” Bagas berbalik
menyalahkan Cindai.
Bagas
P.O.V
Cuaca siang ini sama sekali nggak
bersahabat. Matahari bersinar dengan semangat 45, seolah-olah baru gajian.
Sialnya, gue dihukum sama Pak Jona buat hormat sama bendera sampai jam
pelajaran selesai. Gila! Jam pelajaran baru selesai 3 jam lagi. Dan selama 3 jam itu pula gue harus berdiri disini sama
Cindai. Ya, Cindai.
Gara-gara
dia naruh balon di loker gue tadi pagi. Gue paling anti sama yang namanya balon.
Bahkan setiap malam gue berdoa, bahwa balon bisa benar-benar musnah dari muka
bumi ini. Percaya?
Sudah
sejam gue sama Cindai berdiri di bawah bendera sambil hormat. Ini tangan
rasanya kayak mau putus. Mungkin lem perekat di penyambung tulang lengan atas
sama tulang kering gue udah mau abis. Seriously?
Gue ngelihat kearah Cindai mukanya pucat. Trus dia juga udah ngga dalam posisi
hormat kepada bendera. Kedua tangannya memegangi dadanya. Ia seolah kehabisan
napas. Gue mulai panik. Gimana kalau nih
anak tiba-tiba pingsan? Kan berabe!
“Ndai? Are you ok?” Gue nanya ke
dia dengan was-was. Takut nih anak kenapa-napa.
“Gas… Tolong ambilin in.. inhaler g…
gue di loker. G… gue mohon,” ujar Cindai dengan suara yang terputus-putus.
“Di loker?”
“I… iya. Cepetan.”
Gue langsung lari ke lokernya
Cindai. Lalu mengambil inhaler yang dia butuhin sekarang. Namun pas gue balik ke lapangan, Cindai pingsan!
“Ndai,
bangun! Ndai? Cindai!” Gue menepuk-nepuk pipi Cindai. Sama
sekali tak ada respon darinya. Langsung kubopong dia ke UKS. Dasar Cindai.
Bisanya Cuma nyusahin.
Cindai
P.O.V
Bagas tak kunjung datang. Memang
sejauh mana sih jarak antara lapangan dan lokerku? Bisa-bisa aku keburu mati
disini, Gas!
Dan..
BRUK
Gelap.
Semuanya gelap. Rasa sakit itu datang tiba-tiba. Seolah menggerogoti jantungku.
Ah, sial. Rasanya ingin kubuang jantung yang menyusahkan ini. Selalu terasa
sakit jika aku terlalu kelelahan. Asma makin memperparah keadaan. Ia kambuh
disaat yang tidak tepat. Huh. Menyusahkan saja.
Tiba-tiba
kegelapan tadi berubah. Ada seberkas cahaya makin mendekatiku. Aku dibawa ke dimensi ruang lain. Dan kalian tahu, apa
yang aku temukan? Ribuan balon berterbangan mengelilingiku. Ah, senangnya!
Bagas P.O.V
Cindai
gue tinggal di UKS. Gue nggak tega ngelihat dia lemes begitu. Makanya, gue
nyuruh Josia buat nungguin Cindai sampai dia sadar. Cindai terus menerus
mengigau. Dia nyebut-nyebut nama ‘Rio’. Gue tahu, tempo hari dia baru putus
sama cowok kesayangannya itu. Kasihan.
Seminggu setelah kejadian Cindai
pingsan di lapangan, dia nggak berangkat ke sekolah. Padahal, hari ini adalah
hari pertama UKK. Entah kenapa, feeling gue nggak enak terhadap Cindai. Ya, gue tahu. Gue mulai suka sama dia.
Ngejahilin
dia tiap hari itulah yang bikin gue jadi suka sama dia. Ada kebahagiaan
tersendiri pas ngelihat mukanya yang manis itu marah gara-gara ulah gue. Tapi,
gue terlalu pengecut buat ngungkapin perasaan gue sebenarnya. Gue takut
ditolak.
“Oy.
Ngelamun aja, lo.” Difa tiba-tiba dateng ngehampirin gue.
Otomatislah gue kaget.
“Apaan sih lo. Bikin gue kaget aja.”
“Hari Sabtu kemarin katanya dia
pingsan di lapangan pas dihukum bareng lo?” Tanya Difa. Gue mengangguk.
“Dia hari ini nggak sekolah kan?”
Gue mengangguk lagi.
“Penyakit dia kumat lagi, Gas. Makin
parah,” ujar Difa.
“Penyakit?” kata gue bingung.
“Iya. Dia punya penyakit. Lo mau gue
anter jenguk dia pulang sekolah?”
“Boleh. Gue juga mau minta maaf sama dia.”
“Oke.
Gue tunggu jam 1 di gerbang sekolah”
Difa
memutuskan untuk pergi ke kantin setelah ngasih btahu informasi tadi ke gue.
Cindai punya penyakit? Orang sengak
kayak gitu bisa punya penyakit juga ternyata.
Cindai P.O.V
Kreek.
Pintu
kamarku terbuka. Ada dua kepala muncul disana. Eh, tunggu. Itu Bagas sama Difa,
kan? Mataku belum sepenuhnya rabun. Itu memang Bagas dan Difa.
Bagas
tersenyum. Sebenarnya, aku tak ingin ia melihatku dengan keadaan seperti ini;
tubuhku penuh selang, tanganku pun diinfus. Aku terlihat sangat lemah.
“Lo bisa
tinggalin gue disini sama Bagas, Dif?” pintaku pada Dif. Ia mengangguk, lalu
keluar dari kamarku.
Bagas P.O.V
“H…
hai,” sapa gue ragu.
“Hai
juga, Gas.” Dia ngebalas sapaan gue dengan senyum; menunjukkan bahwa dia tidak
apa-apa.
“Lo
sakit apa?”
“Sakit hati, eh jantung. Hehe,” dia mencoba mencairkan suasana. Saat-saat kayak
gini pun lo sempet becanda, Ndai.
“Maafin
gue ya, gara-gara gue kelamaan ngambil inhaler, lo jadi gini,” ujar gue dengan
nada bersalah.
“Gue
nggak pa-pa kok, Gas. Bener deh,” ujar Cindai memamerkan senyum. Gapapa gimana,
Ndai? Badan lo aja selang melulu.
Kami
terdiam cukup lama. Gue memandangi dia yang terbaring lemah di ranjang. Jujur,
gue nggak nyangka. Gadis sengak bin
nyebelin ini punya penyakit yang parah. Gue jadi ngerasa bersalah.
“Gas…”
Cindai membuka suara. Memecah keheningan diantara kami.
“Ya?”
“Beliin
gue balon dong. Pengen balon nih,” ujarnya mengiba.
“Lo
tetep gila. Ogah,” tolakku. Gue aja nggak berani pegang balon. Dia malah nyuruh
gue beli.
“Please, Gas. Ini terakhir deh gue
bikin lo kesel.”
“Janji?”
“Janji.”
“Oke gue beliin. Tunggu sebentar ya,” ujar gue. Lalu pergi keluar, beliin
balon buat Cindai. Heran, lagi sakit beginipun dia masih
minta balon. Huh.
Beberapa saat kemudian,
“Nih, gue bawain balon kesukaan lo!” ujar gue ceria. Gue agak lamaan
belinya, karena mampir ke toko buat beli sarung tangan. Rugi dong gue harus megang balon secara langsung?
Cindai
tidur pules. Pules banget. Sampai akhirnya gue menyadari sesuatu.
Cindai
udah pergi. Cindai senyum, senyumnya damai. Seolah tak ada beban.
“CINDAIIIII…”
gue peluk Cindai erat. Nggak peduli lagi dia siapa. Nggak peduli lagi kalau
tubuh dia udah nggak bernyawa. “Gue sayang lo, Ndai. Gue sayang lo! Bahkan gue
belum pernah bilang langsung ke lo, kan?”
Tubuhnya
dingin. Gue masih terus menangis di pelukan dia. Dengan cepat gue panggil Mamanya Cindai. Dan, kami menangis
bersama.
Author P.O.V
Pemakaman
Cindai baru saja selesai. Harum semerbak bunga terasa disini. Segunduk tanah
merah di depan Bagas ini kini menjadi rumah Cindai. Terlihat
ada sebuah balon terikah di pohon kamboja dekat makan Cindai tersebut. Itu
balon yang ia beli di hari terakhir Cindai. Ketika Cindai berjanji bahwa ia tak
akan membuat Bagas kesal lagi. Dan,
itu semua ditepati oleh Cindai.
“Selamat Jalan, Arcindai Shinta. Gue sayang
lo sekarang, besok, dan selamanya.”
Terlihat
di kejauhan sesosok bayangan putih. Ia tersenyum. Lama-kelamaan
tubuhnya hilang dihembus oleh angin.
“Gue
juga sayang lo, Ramayoga Bagaskara.”
-END-