Selasa, 15 November 2016

Balon Merah Untuk Cindai




***
Cindai P.O.V
            “Ndai, kita putus.”
            JLEB.
            Duniaku seakan runtuh. Rio pasti bercanda, kan? Semudah itu ia mengatakan kata putus? Dua tahun bersama itu bukan waktu yang sebentar. Hanya ini yang kudapatkan setelah 6 bulan ‘digantung’ oleh Rio? Hanya ini? Ingin rasanya aku tertawa sekeras-kerasnya! Ini pasti lelucon, kan? HAHA!
            “Maaf, Ndai. Tapi aku udah punya tunangan. Aku dijodohin. Maaf.” Rio menatapku dengan tatapan yang amat pilu. Merasa bersalah, takut melukai, dan iba ia tunjukkan lewat manik matanya yang indah itu. Ah, andai aku masih memiliki banyak waktu untuk menatap mata sendunya itu.
            “Aku minta maaf.kamu tahu kan, aku paling nggak bisa ngelawan kehendak orang tuaku? Maafin aku, Ndai,” ujar Rio. Ia makin mengeratkan genggamannya di jemariku. Terasa hangat dan nyaman. Mataku mulai berkaca-kaca. Cukup Rio, cukup.
            “Aku tahu kok, Yo. Di mata orang tua kamu aku itu cuma gadis bau kencur, kan? Mereka menganggapku hanya gadis SMA yang belum dewasa.” Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Remuk Yo, remuk!
            “Maafin aku, Ndai. Aku harus pergi sekarang.”
            “Boleh aku minta pelukan kamu yang terakhir?  Aku mohon,” ujarku mengiba. Berat rasanya ditinggalkan olehnya.
            Rio memelukku erat. Sangat erat. Aku meletakkan kepalaku di dadanya yang hangat. Meresapi bau strawberry di bajunya. Aku suka aroma itu.
            “Jangan nangis lagi, ok? Aku sayang kamu. Aku pergi.” Rio meregangkan pelukkannya lalu bangkit dari bangku taman. Lantas pergi meninggalkanku begitu saja. Fiuh.

***
Author P.O.V
          Cindai terlihat kembali ceria pagi ini. Seolah-olah tak ada kejadian berat yang menimpanya kemarin. Dia berangkat ke sekolah dengan ceria. Tas elmo merahnya itu selalu melekat di punggung gadis itu. Dengan semerbak bau strawberry, membuat penampilan Cindai makin ceria. Namun, untuk pertawa kalinya, gadis itu tak menyemprotkan parfum strawberry ke tas elmonya tersebut. Ia lebih memilih menyemprotkan parfum lavender di tasnya. Untuk menghilangkan kenangan tentang Rio, mungkin.
            “Bagas belum dateng, jadi gue punya banyak kesempatan,” ujar Cindai. Ia mengendap-endap menuju loker Bagas. Lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah balon. Cindai lalu meniup balon itu sampai seukuran kepala manusia. Eh, tunggu. Itu buat apa?
            Cindai menaruh balon itu ke loker Bagas. Ia tahu, Bagas tak suka dengan balon. Sekali-kali bikin  Bagas shock nggak pa-pa kali ya, batin Cindai senang.
            Tak lama kemudian, Bagas datang. Cindai bersembunyi agak jauh dari loker Bagas. Ia tak sabar dengan reaksi Bagas selanjutnya.
            “HHHUUAAA!! BALON!! AAAAAA!!!” Bagas berteriak heboh ketika mengetahui di lokernya ada balon. Kontan saja ia langsung menjadi pusat perhatian. Semua orang yang ada di koridor menatapnya dengan tatapan iuh-ada-orang-aneh-teriak-teriak-sendiri.
            “HAHAHAHAHAHA.” Cindai tertawa terbahak-bahak melihat muka Bagas yang mirip kepiting rebus; memerah. Cindai tertawa sampai terbatuk-batuk.
            “Ah, cemen lo, Gas. Masa sama balon aja takut!” ejek Cindai berpuas hati di sela sesi tertawanya itu.
            “Mau lo apaan, sih? Orang gila!”
            “Ini balesan gue tempo hari pas lo ngelempar sepatu gue ke genteng!”
            “Gue nggak akan ngelakuin itu kalau lo nggak naruh seragam olahraga gue di toilet cewek!”
            “Lo ngasih bubuk cabe ke jus mangga gue!”
            “Dan lo ngumpetin buku PR gue di kantor kepala sekolah!”
            “Lo bikin seragam gue jadi warna-warni gara-gara spidol sialan lo itu!”
            “CUKUP! ADA RIBUT-RIBUT APA INI?!”
            Pak Jona-sang guru killer- langsung menghentikan adu mulut tersebut. Entah sudah keberapa kalinya ia menegur dua bocah itu: Bagas dan Cindai, si biang onar. Lalu Pak Jona menjewer telinga keduanya sampai memerah.
            “Ikut Bapak ke ruangan. SEKARANG!”
            Dan mereka berduapun pergi ke ruangan  Pak Jona. Sesampainya disana, mereka dihukum hormat kepad bendera sampai jam pelajaran selesai.
            “Gara-gara lo, sih!” ujar Cindai menyalahkan Bagas.
            “Enak aja! Semuanya gara-gara elo, tau!” Bagas berbalik menyalahkan Cindai.

Bagas P.O.V
            Cuaca siang ini sama sekali nggak bersahabat. Matahari bersinar dengan semangat 45, seolah-olah baru gajian. Sialnya, gue dihukum sama Pak Jona buat hormat sama bendera sampai jam pelajaran selesai. Gila! Jam pelajaran baru selesai 3 jam lagi. Dan selama 3 jam itu pula gue harus berdiri disini sama Cindai. Ya, Cindai.
            Gara-gara dia naruh balon di loker gue tadi pagi. Gue paling anti sama yang namanya balon. Bahkan setiap malam gue berdoa, bahwa balon bisa benar-benar musnah dari muka bumi ini. Percaya?
            Sudah sejam gue sama Cindai berdiri di bawah bendera sambil hormat. Ini tangan rasanya kayak mau putus. Mungkin lem perekat di penyambung tulang lengan atas sama tulang kering gue udah mau abis. Seriously? Gue ngelihat kearah Cindai mukanya pucat. Trus dia juga udah ngga dalam posisi hormat kepada bendera. Kedua tangannya memegangi dadanya. Ia seolah kehabisan napas. Gue mulai panik. Gimana  kalau nih anak tiba-tiba pingsan? Kan berabe!
            “Ndai? Are you ok?” Gue nanya ke dia dengan was-was. Takut nih anak kenapa-napa.
            “Gas… Tolong ambilin in.. inhaler g… gue di loker. G… gue mohon,” ujar Cindai dengan suara yang terputus-putus.
            “Di loker?”
            “I… iya. Cepetan.”
            Gue langsung lari ke lokernya Cindai. Lalu mengambil inhaler yang dia butuhin sekarang. Namun pas gue balik ke lapangan, Cindai pingsan!
            “Ndai, bangun! Ndai? Cindai!” Gue menepuk-nepuk pipi Cindai. Sama sekali tak ada respon darinya. Langsung kubopong dia ke UKS. Dasar Cindai. Bisanya Cuma nyusahin.

Cindai P.O.V
            Bagas tak kunjung datang. Memang sejauh mana sih jarak antara lapangan dan lokerku? Bisa-bisa aku keburu mati disini, Gas!
            Dan..
            BRUK
Gelap. Semuanya gelap. Rasa sakit itu datang tiba-tiba. Seolah menggerogoti jantungku. Ah, sial. Rasanya ingin kubuang jantung yang menyusahkan ini. Selalu terasa sakit jika aku terlalu kelelahan. Asma makin memperparah keadaan. Ia kambuh disaat yang tidak tepat. Huh. Menyusahkan saja.
Tiba-tiba kegelapan tadi berubah. Ada seberkas cahaya makin mendekatiku. Aku dibawa ke dimensi ruang lain. Dan kalian tahu, apa yang aku temukan? Ribuan balon berterbangan mengelilingiku. Ah, senangnya!

Bagas P.O.V
            Cindai gue tinggal di UKS. Gue nggak tega ngelihat dia lemes begitu. Makanya, gue nyuruh Josia buat nungguin Cindai sampai dia sadar. Cindai terus menerus mengigau. Dia nyebut-nyebut nama ‘Rio’. Gue tahu, tempo hari dia baru putus sama cowok kesayangannya itu. Kasihan.
            Seminggu setelah kejadian Cindai pingsan di lapangan, dia nggak berangkat ke sekolah. Padahal, hari ini adalah hari pertama UKK. Entah kenapa, feeling gue nggak enak terhadap Cindai. Ya, gue tahu. Gue mulai suka sama dia.
            Ngejahilin dia tiap hari itulah yang bikin gue jadi suka sama dia. Ada kebahagiaan tersendiri pas ngelihat mukanya yang manis itu marah gara-gara ulah gue. Tapi, gue terlalu pengecut buat ngungkapin perasaan gue sebenarnya. Gue takut ditolak.
            “Oy. Ngelamun aja, lo.” Difa tiba-tiba dateng ngehampirin gue. Otomatislah gue kaget.
            “Apaan sih lo. Bikin gue kaget aja.”
            “Hari Sabtu kemarin katanya dia pingsan di lapangan pas dihukum bareng lo?” Tanya Difa. Gue mengangguk.
            “Dia hari ini nggak sekolah kan?”
            Gue mengangguk lagi.
            “Penyakit dia kumat lagi, Gas. Makin parah,” ujar Difa.
            “Penyakit?” kata gue bingung.
            “Iya. Dia punya penyakit. Lo mau gue anter jenguk dia pulang sekolah?”
            “Boleh. Gue juga mau minta maaf sama dia.”
            “Oke. Gue tunggu jam 1 di gerbang sekolah”
            Difa memutuskan untuk pergi ke kantin setelah ngasih btahu informasi tadi ke gue. Cindai punya penyakit? Orang sengak kayak gitu bisa punya penyakit juga ternyata.

Cindai P.O.V
            Kreek.
            Pintu kamarku terbuka. Ada dua kepala muncul disana. Eh, tunggu. Itu Bagas sama Difa, kan? Mataku belum sepenuhnya rabun. Itu memang Bagas dan Difa.
            Bagas tersenyum. Sebenarnya, aku tak ingin ia melihatku dengan keadaan seperti ini; tubuhku penuh selang, tanganku pun diinfus. Aku terlihat sangat lemah.
            “Lo bisa tinggalin gue disini sama Bagas, Dif?” pintaku pada Dif. Ia mengangguk, lalu keluar dari kamarku.

Bagas P.O.V
            “H… hai,” sapa gue ragu.
            “Hai juga, Gas.” Dia ngebalas sapaan gue dengan senyum; menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa.
            “Lo sakit apa?”
            “Sakit hati, eh jantung. Hehe,” dia mencoba mencairkan suasana. Saat-saat kayak gini pun lo sempet becanda, Ndai.
            “Maafin gue ya, gara-gara gue kelamaan ngambil inhaler, lo jadi gini,” ujar gue dengan nada bersalah.
            “Gue nggak pa-pa kok, Gas. Bener deh,” ujar Cindai memamerkan senyum. Gapapa gimana, Ndai? Badan lo aja selang melulu.
            Kami terdiam cukup lama. Gue memandangi dia yang terbaring lemah di ranjang. Jujur, gue nggak nyangka. Gadis sengak bin nyebelin ini punya penyakit yang parah. Gue jadi ngerasa bersalah.
            “Gas…” Cindai membuka suara. Memecah keheningan diantara kami.
            “Ya?”
            “Beliin gue balon dong. Pengen balon nih,” ujarnya mengiba.
            “Lo tetep gila. Ogah,” tolakku. Gue aja nggak berani pegang balon. Dia malah nyuruh gue beli.
            “Please, Gas. Ini terakhir deh gue bikin lo kesel.”
            “Janji?”
            “Janji.”
            “Oke gue beliin. Tunggu sebentar ya,” ujar gue. Lalu pergi keluar, beliin balon buat Cindai. Heran, lagi sakit beginipun dia masih minta balon. Huh.
Beberapa saat kemudian,
            “Nih, gue bawain balon  kesukaan lo!” ujar gue ceria. Gue agak lamaan belinya, karena mampir ke toko buat beli sarung tangan. Rugi dong gue harus megang balon secara langsung?
            Cindai tidur pules. Pules banget. Sampai akhirnya gue menyadari sesuatu.
            Cindai udah pergi. Cindai senyum, senyumnya damai. Seolah tak ada beban.
            “CINDAIIIII…” gue peluk Cindai erat. Nggak peduli lagi dia siapa. Nggak peduli lagi kalau tubuh dia udah nggak bernyawa. “Gue sayang lo, Ndai. Gue sayang lo! Bahkan gue belum pernah bilang langsung ke lo, kan?”
            Tubuhnya dingin. Gue masih terus menangis di pelukan dia. Dengan cepat gue  panggil Mamanya Cindai. Dan, kami menangis bersama.

Author P.O.V
            Pemakaman Cindai baru saja selesai. Harum semerbak bunga terasa disini. Segunduk tanah merah di depan Bagas ini kini menjadi rumah Cindai. Terlihat ada sebuah balon terikah di pohon kamboja dekat makan Cindai tersebut. Itu balon yang ia beli di hari terakhir Cindai. Ketika Cindai berjanji bahwa ia tak akan membuat Bagas kesal lagi. Dan, itu semua ditepati oleh Cindai.
            “Selamat Jalan, Arcindai Shinta. Gue sayang lo sekarang, besok, dan selamanya.”
            Terlihat di kejauhan sesosok bayangan putih. Ia tersenyum. Lama-kelamaan tubuhnya hilang dihembus oleh angin.
            “Gue juga sayang lo, Ramayoga Bagaskara.”

-END-

           

Selasa, 19 Januari 2016

Beda

"Kita temenan udah lama banget ya, Fy?"
Kebun belakang rumah Ian memang paling pas disaat-saat seperti sekarang. Angin berhembus pelan, daun mulai berguguran, dan cuaca tak terlalu terik. Disaat seperti ini, biasanya aku dan Ian suka berbaring di hamparan rumput yang luas. Wangi rumput yang khas, membuat rileks pikiran ini.
"Iya, Yan. Kita temenan hampir 12 tahun. Haha," jawabku diselingi tawa renyah.
"Berarti kita bener-bener temen sejati dong! Temen sejati, Fy!" ujar Ian. Lalu mengembangkan senyumnya.
JLEB.
Temen? Kamu cuma anggep aku temen? batinku dalam hati. Sakit, Yan.
"Fy? Lo bengong?" ujar Ian. Aku yang sedang terbengong pun kaget.
"Ha? Enggak kok. Hehehe." Aku berbohong. Aku tak ingin dia mengetahui perasaanku sebenarnya.
"Fy, genggam tangan gue! Cepetan!" Ian menyuruhku menggenggam tangannya. Entah untuk apa.
"Enggak mau ah. Tangan lo kapalan, ntar tangan gue jadi ikut kapalan deh. Hahaha," ujarku. Aku takut ia mengetahui yang sebenarnya jika aku menggenggam tangannya.
"Sial lo!" Ian menjitak kepalaku keras lalu tertawa. Dan kami menghabiskan sore itu dengan bergurau di hamparan rumput yang luas; tanpa Ian tahu bahwa aku diam-diam menyukainya.
Meski bibir ini tak berkata, bukan berarti ku tak merasa ada yang berbeda di antara kita. Ya, kita berbeda. Aku mencintaimu amat dalam sedangkan kamu hanya menganggapku teman. Perbedaan yang amat mencolok, namun tak membuatmu jauh dariku.