“Ternyata
...”
Aya
masih terus membuka lembar demi lembar buku harian itu. Buku dengan sampul
berwarna tosca itu nampak usang dan kertasnya pun mulai menguning. Namun itu
semua tak membuat rasa penasaran Aya surut begitu saja. Sejak menemukan buku
itu di bawah pohon jambu depan rumahnya, Aya selalu penasaran tentang isi buku
itu.
Mata
Aya mendelik ketika ia sampai pada suatu halaman di
buku usang itu. Dipinggirnya terdapat bercak darah yang sudah mengering. Aya
terus membaca kata demi kata yang tersusun di halaman yang sedang dibacanya
itu.
Nafasnya tercekat. Bulu kuduknya mulai
berdiri. Tiba-tiba saja tercium bau anyir di sekitar Aya berada sekarang. Ia
terus melanjutkan membaca buku harian itu, sebelum tiba-tiba terdengar suara
rintihan gadis kecil yang meminta pertolongan. Rintihan yang amat menyayat hati
bagi siapapun yang mendengarnya.
“Kak ... Tolong Ratna kak ...”
“Kak ... Tolong Ratna kak ...”
“Kak ... Tolong Ratna kak ...”
Lama kelamaan suara itu makin terdengar
lirih dan perlahan menghilang. Aya segera menutup buku harian itu lantas
bergegas keluar dari kamarnya. Otaknya sibuk mencerna peristiwa yang baru saja
dialaminya. Apakah itu nyata?
***
***
“Oper bolanya kesini woy! Sini sini!”
Aya melambaikan kedua tangannya kepada Tasya,
teman sepermainannya. Sore ini, mereka berenam sedang latihan basket untuk
turnamen minggu depan. Aya, Tasya, Keke, Ima, Mauldy dan Canny nampak sangat
serius. Mereka dibagi menjadi 2 tim. Tim pertama, Aya, Keke dan Tasya melawan
tim kedua, Ima, Mauldy dan Canny. Aya mendapat oper bola dari Tasya. Namun,
ketika ia hendak melakukan shoot, tiba-tiba fokusnya teralih. Aya melihat
seorang gadis sebayanya mengenakan gaun putih lusuh di pinggir lapangan. Mata
gadis itu nampak menatap ke arah Aya dengan tajam. Tatapan penuh amarah dan
kebencian. Aya makin terlarut dalam tatapan itu sebelum akhirnya ...
Bruukk
Bruukk
Aya terjatuh. Bola basket yang tadi
sempat ia pegang menggelinding pelan ke lapangan. Lututnya sedikit lecet. Lalu
Aya segera di papah menuju pinggir lapangan oleh Keke dan Tasya.
“Lo kenapa sih, Ya? Nggak biasanya lo
latihan nggak fokus gini,” tanya Tasya sembari mengeluarkan kotak P3K di
tasnya.
“Nngg ... Tadi kalian lihat cewek yang
pake gaun putih lusuh itu nggak? Dia tadi ngeliatin gue gitu.” Aya menjawab
dengan suara lirih. Ia menahan sakit di lututnya.
“Gaun? Gaun apaan? Kayak putri kerajaan
gitu? Norak banget deh hahaha ...” ujar Ima sambil tertawa.
“Khayalan lo tinggi banget sumpah, Aya
Saraswati! Yakali ada cewek pake gaun nonton kita main basket?’ tanya Keke
dengan nada heran. Ia seolah tak percaya dengan ucapan Aya tadi.
“Mending lo pulang aja, Ya. Muka lo
pucet. Lo sakit?” ujar Ima.
Aya menggeleng pelan, lalu perlahan bangkit.
Aya memutuskan untuk pulang. Ia melihat sosok itu lagi, dengan tatapan lebih
tajam dan matanya mulai menitikkan darah.
“Aaaaaaaaaaaaaa ...”
***
***
Aya kembali membuka buku harian usang
itu. Sejak kejadian di lapangan basket, ia sama sekali tak berani membuka buku
itu. Ia merasa, sosok bermata tajam itu ada hubungannya dengan buku hariannya.
Entahlah, Aya sendiri pun masih bingung.
“27 Mei 1977
Hari ini aku merasa senang sekali. Ratna, adikku yang menyebalkan itu sudah mati. Huh! Pisau ini adalah saksi bisunya. Hahaha ...”
“29 Mei 1977
Dua hari setelah Ratna mati, appa dan amma terus mencari keberadaan Ratna. Kenapa harus selalu Ratna yang dipedulikan? Aku kapan? Sudah mati saja kau tetap menyebalkan, Ratnalingliem Kusuma!”
Brakk
“27 Mei 1977
Hari ini aku merasa senang sekali. Ratna, adikku yang menyebalkan itu sudah mati. Huh! Pisau ini adalah saksi bisunya. Hahaha ...”
“29 Mei 1977
Dua hari setelah Ratna mati, appa dan amma terus mencari keberadaan Ratna. Kenapa harus selalu Ratna yang dipedulikan? Aku kapan? Sudah mati saja kau tetap menyebalkan, Ratnalingliem Kusuma!”
Brakk
Jendela kamar Aya tiba-tiba terbuka.
Angin berhembus kencang sekali, menghamburkan semua yang ada di kamar Aya.
Dalam sekejap, kamar Aya seperti kapal pecah.
“Kau telah mengambil buku harianku ...”
Suara itu menggema di kamar Aya. Angin
masih memporak-porandakan kamarnya. Suara itu terus berulang beberapa kali.
“Kau telah mengambil buku harianku ...”
“Siapa kau?!” Aya berteriak. Ia sungguh
ketakutan.
“Kembalikan buku itu. Kembalikan!” sosok
itu membentak Aya. Namun hanya suaranya saja yang terdengar, tak berwujud.
“Buku? Buku apa?”
“Buku harian yang kau curi! Itu milikku!”
Jadi ... Buku harian ini milik sosok
itu? Pantas saja ia membuntutiku terus, batin Aya.
“Kau telah membaca buku harianku! Kau
akan membeberkan ke semua orang kalau aku yang membunuh Ratna!” Sosok itu makin
murka. Kini, ia menampakkan wujudnya. Bergaun putih, sorot matanya merah
menyala.
“Ma ... Maafkan aku sudah lancang membacanya.
A ... Aku tak bermaksud,” ujar Aya gugup. Ia tak tahu harus berkata apa lagi.
“Kembalikan, atau kau akan lenyap seperti
Ratna! Hahahahahahahahaha ...”
Wusshh ... Sosok itu lenyap bersama
angin. Aya bingung, ia masih hidup atau sudah mati? Sosok tadi, sangat
menyeramkan baginya. Ia membalik buku harian yang daritadi dipegangnya itu dan
menemukan seuntai kata terangkai di covernya.
‘Milik Meylanliem Kusuma. Jangan dibaca, atau hidupmu tak akan tenang!’
‘Milik Meylanliem Kusuma. Jangan dibaca, atau hidupmu tak akan tenang!’
Oh, tidak! Aya telah melakukan kesalahan
besar. Pemilik buku itu murka padanya. Segera, ia mengembalikan buku itu ke
tempat awalnya, di bawah pohon jambu.
***
***
“Maafkan aku, Meylan. Aku tak bermaksud
lancang. Semoga kau dan Ratna tenang dan tak ada lagi dendam diantara kalian.”
Aya meninggalkan buku itu di bawah pohon
jambu. Tertutupi rerumputan tebal di sekelilingnya. Aya bergegas pergi dari
tempat itu. Tepat 7 langkah Aya meninggalkan tempat itu, buku harian tersebut
terbuka sendiri. Tertinggal sebuah tulisan disana,
‘Meylan sayang Ratna!’
‘Meylan sayang Ratna!’
Di sisi lain, terdapat dua sosok kakak
beradik bergaun putih saling bergandeng tangan. Keduanya tersenyum lebar
sampai-sampai merobek mulut mereka. Darah mengalir deras dari mulut mereka.
Perlahan, sosok itu lenyap bersama angin.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar