Minggu, 07 Juni 2015

Teror Buku Harian Meylan

“Ternyata ...”
Aya masih terus membuka lembar demi lembar buku harian itu. Buku dengan sampul berwarna tosca itu nampak usang dan kertasnya pun mulai menguning. Namun itu semua tak membuat rasa penasaran Aya surut begitu saja. Sejak menemukan buku itu di bawah pohon jambu depan rumahnya, Aya selalu penasaran tentang isi buku itu.
Mata Aya mendelik ketika ia sampai pada suatu halaman di buku usang itu. Dipinggirnya terdapat bercak darah yang sudah mengering. Aya terus membaca kata demi kata yang tersusun di halaman yang sedang dibacanya itu.
Nafasnya tercekat. Bulu kuduknya mulai berdiri. Tiba-tiba saja tercium bau anyir di sekitar Aya berada sekarang. Ia terus melanjutkan membaca buku harian itu, sebelum tiba-tiba terdengar suara rintihan gadis kecil yang meminta pertolongan. Rintihan yang amat menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.
“Kak ... Tolong Ratna kak ...”
“Kak ... Tolong Ratna kak ...”
“Kak ... Tolong Ratna kak ...”
Lama kelamaan suara itu makin terdengar lirih dan perlahan menghilang. Aya segera menutup buku harian itu lantas bergegas keluar dari kamarnya. Otaknya sibuk mencerna peristiwa yang baru saja dialaminya. Apakah itu nyata?

***
“Oper bolanya kesini woy! Sini sini!”
 Aya melambaikan kedua tangannya kepada Tasya, teman sepermainannya. Sore ini, mereka berenam sedang latihan basket untuk turnamen minggu depan. Aya, Tasya, Keke, Ima, Mauldy dan Canny nampak sangat serius. Mereka dibagi menjadi 2 tim. Tim pertama, Aya, Keke dan Tasya melawan tim kedua, Ima, Mauldy dan Canny. Aya mendapat oper bola dari Tasya. Namun, ketika ia hendak melakukan shoot, tiba-tiba fokusnya teralih. Aya melihat seorang gadis sebayanya mengenakan gaun putih lusuh di pinggir lapangan. Mata gadis itu nampak menatap ke arah Aya dengan tajam. Tatapan penuh amarah dan kebencian. Aya makin terlarut dalam tatapan itu sebelum akhirnya ...

Bruukk
Aya terjatuh. Bola basket yang tadi sempat ia pegang menggelinding pelan ke lapangan. Lututnya sedikit lecet. Lalu Aya segera di papah menuju pinggir lapangan oleh Keke dan Tasya.
“Lo kenapa sih, Ya? Nggak biasanya lo latihan nggak fokus gini,” tanya Tasya sembari mengeluarkan kotak P3K di tasnya.
“Nngg ... Tadi kalian lihat cewek yang pake gaun putih lusuh itu nggak? Dia tadi ngeliatin gue gitu.” Aya menjawab dengan suara lirih. Ia menahan sakit di lututnya.
“Gaun? Gaun apaan? Kayak putri kerajaan gitu? Norak banget deh hahaha ...” ujar Ima sambil tertawa.
“Khayalan lo tinggi banget sumpah, Aya Saraswati! Yakali ada cewek pake gaun nonton kita main basket?’ tanya Keke dengan nada heran. Ia seolah tak percaya dengan ucapan Aya tadi.
“Mending lo pulang aja, Ya. Muka lo pucet. Lo sakit?” ujar Ima.
Aya menggeleng pelan, lalu perlahan bangkit. Aya memutuskan untuk pulang. Ia melihat sosok itu lagi, dengan tatapan lebih tajam dan matanya mulai menitikkan darah.
“Aaaaaaaaaaaaaa ...”

***
Aya kembali membuka buku harian usang itu. Sejak kejadian di lapangan basket, ia sama sekali tak berani membuka buku itu. Ia merasa, sosok bermata tajam itu ada hubungannya dengan buku hariannya. Entahlah, Aya sendiri pun masih bingung.

“27 Mei 1977

Hari ini aku merasa senang sekali. Ratna, adikku yang menyebalkan itu sudah mati. Huh! Pisau ini adalah saksi bisunya. Hahaha ...”



“29 Mei 1977

Dua hari setelah Ratna mati, appa dan amma terus mencari keberadaan Ratna. Kenapa harus selalu Ratna yang dipedulikan? Aku kapan? Sudah mati saja kau tetap menyebalkan, Ratnalingliem Kusuma!”


Brakk
Jendela kamar Aya tiba-tiba terbuka. Angin berhembus kencang sekali, menghamburkan semua yang ada di kamar Aya. Dalam sekejap, kamar Aya seperti kapal pecah.
“Kau telah mengambil buku harianku ...”
Suara itu menggema di kamar Aya. Angin masih memporak-porandakan kamarnya. Suara itu terus berulang beberapa kali.
“Kau telah mengambil buku harianku ...”
“Siapa kau?!” Aya berteriak. Ia sungguh ketakutan.
“Kembalikan buku itu. Kembalikan!” sosok itu membentak Aya. Namun hanya suaranya saja yang terdengar, tak berwujud.
“Buku? Buku apa?”
“Buku harian yang kau curi! Itu milikku!”
Jadi ... Buku harian ini milik sosok itu? Pantas saja ia membuntutiku terus, batin Aya.
“Kau telah membaca buku harianku! Kau akan membeberkan ke semua orang kalau aku yang membunuh Ratna!” Sosok itu makin murka. Kini, ia menampakkan wujudnya. Bergaun putih, sorot matanya merah menyala.
“Ma ... Maafkan aku sudah lancang membacanya. A ... Aku tak bermaksud,” ujar Aya gugup. Ia tak tahu harus berkata apa lagi.
“Kembalikan, atau kau akan lenyap seperti Ratna! Hahahahahahahahaha ...”
Wusshh ... Sosok itu lenyap bersama angin. Aya bingung, ia masih hidup atau sudah mati? Sosok tadi, sangat menyeramkan baginya. Ia membalik buku harian yang daritadi dipegangnya itu dan menemukan seuntai kata terangkai di covernya.

‘Milik Meylanliem Kusuma. Jangan dibaca, atau hidupmu tak akan tenang!’
Oh, tidak! Aya telah melakukan kesalahan besar. Pemilik buku itu murka padanya. Segera, ia mengembalikan buku itu ke tempat awalnya, di bawah pohon jambu.


***
“Maafkan aku, Meylan. Aku tak bermaksud lancang. Semoga kau dan Ratna tenang dan tak ada lagi dendam diantara kalian.”
Aya meninggalkan buku itu di bawah pohon jambu. Tertutupi rerumputan tebal di sekelilingnya. Aya bergegas pergi dari tempat itu. Tepat 7 langkah Aya meninggalkan tempat itu, buku harian tersebut terbuka sendiri. Tertinggal sebuah tulisan disana,

‘Meylan sayang Ratna!
Di sisi lain, terdapat dua sosok kakak beradik bergaun putih saling bergandeng tangan. Keduanya tersenyum lebar sampai-sampai merobek mulut mereka. Darah mengalir deras dari mulut mereka. Perlahan, sosok itu lenyap bersama angin.

-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar